Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Music

{getBlock} $label={Music} $type={block1}

Indeks Berita

"Surat Pernyataan vs Sertifikat": Herry Battileo Gugat Logika Hukum Pemerintah Sumba Barat Daya

Sabtu, 20 September 2025 | September 20, 2025 WIB Last Updated 2025-09-20T00:31:51Z


Foto/Advokat Kondang Herry F.F Battileo, S.H.,MH

Waitabula – Sebuah kasus sengketa tanah yang mempertanyakan fondasi kepastian hukum di Indonesia kembali terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Seorang pemilik tanah sah, Apliana Wenyi Djari, justru harus berhadapan dengan klaim sepihak yang didukung oleh pemerintah daerah, yang mana sebuah "surat pernyataan" dinilai lebih kuat daripada sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh negara.


Konflik ini berawal dari pembangunan jalan yang melintas di atas pekarangan rumah Apliana tanpa persetujuannya. Sebagai bentuk protes resmi, ia telah mengirimkan Surat Keberatan yang ditujukan kepada Bupati Sumba Barat Daya. Surat yang dilengkapi dengan fotokopi sertifikat tanah nomor 182 tahun 1987 itu dengan tegas menolak pembangunan tersebut dengan dasar hukum yang kuat, termasuk UU Pokok Agraria dan UU Pengadaan Tanah.


Namun, jalan dialog justru menemui jalan buntu. Dalam audiensi yang digelar tadi malam, Bupati Sumba Barat Daya justru menekankan keberadaan sebuah "surat pernyataan" dari pihak lain yang mengklaim memberikan izin untuk membuka jalan di atas lahan Apliana. Yang lebih mencengangkan, menurut penuturan Bupati, surat pernyataan ini baru dibuat setelah jalan tersebut dibangun. Surat itu diduga kuat dibuat oleh sejumlah oknum, termasuk seorang TNI, istri polisi, dan oknum PNS.



Herry F.F Battileo, S.H.,MH Kuasa Hukum Apliana Wenyi Djari, tidak hanya mempertanyakan tetapi secara tegas mengecam tindakan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya.


"Pemerintah SBD telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum yang terjadi secara terang-terangan. Alih-alih melindungi hak warga negara yang dijamin konstitusi, mereka justru menjadi backing dari upaya perampasan tanah dengan menggunakan surat palsu yang dibuat oknum," tegas Herry Battileo dengan nada tinggi.


"Ini adalah bentuk ketidakberpihakan yang nyata. Bahkan bisa dikatakan sebagai penyalahgunaan wewenang karena membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Sertifikat tanah dianggap tidak berlaku, sementara surat pernyataan aspal (asli tapi palsu) malah dijadikan dasar hukum. Ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal," tambahnya.


Herry Battileo juga menyoroti kelemahan moral pemerintah daerah dalam menyikapi kasus ini. "Pemerintah seharusnya menjadi penegak hukum, bukan perusak hukum. Tindakan Bupati yang mengakui surat pernyataan yang dibuat setelah jalan dibangun menunjukkan bahwa pemerintah tidak bekerja berdasarkan prinsip keadilan, melainkan hanya mencari pembenaran atas kesewenang-wenangan yang sudah terlanjur dilakukan."


"Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Rakyat memilih pemimpin untuk melindungi mereka, bukan untuk melegalkan perampasan tanah dengan dalih pembangunan," imbuhnya lagi.



Lebih lanjut, Herry Battileo mempertanyakan konsistensi penegakan hukum di daerah tersebut. "Jika pemerintah saja tidak menghormati proses hukum, lalu bagaimana mungkin masyarakat akan patuh pada hukum? Ini menciptakan preseden buruk bahwa hukum bisa dimanipulasi oleh kekuasaan."


"Mana mungkin surat pernyataan yang dibuat oleh oknum TNI, PNS, atau istri polisi yang jelas tidak memiliki hak atas tanah bisa membatalkan sertifikat yang diterbitkan oleh negara? Ini sama saja dengan mengakui bahwa hukum bisa dibeli atau diputar balikkan dengan mudah," tegas Herry Battileo.


Kasus ini bukan hanya tentang sengketa sebidang tanah, tetapi tentang ancaman terhadap kepastian hukum dan hak asasi manusia setiap warga negara. Pernyataan Bupati yang mengedepankan surat pernyataan daripada sertifikat sah menciptakan preseden yang sangat berbahaya.


Apliana Wenyi Djari, dalam surat keberatannya, telah menyatakan akan menempuh upaya hukum apabila aspirasinya tidak ditanggapi. Langkah ini mungkin akan menjadi ujian penting bagi penegakan hukum di Sumba Barat Daya.


Masyarakat kini menunggu tindakan tegas dari pemerintah daerah untuk membatalkan surat pernyataan yang tidak berdasar hukum tersebut dan mengedepankan proses yang benar. Jika tidak, yang terjadi adalah peminggiran rakyat kecil oleh kekuasaan dan sebuah surat pernyataan yang lebih perkasa daripada konstitusi.