![]() |
Foto/Advokat Jefrianus Pati Bean |
Dalam pernyataannya, Jefrianus yang dikenal kritis menyatakan bahwa penuntutan hukuman maksimal bagi pelaku bukanlah akhir dari penyelesaian masalah.
“Desakan untuk menghukum maksimal pelaku sesuai UU Perlindungan Anak (Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2016) adalah keharusan. Namun, menjadikan hukuman ini sebagai titik akhir adalah pengabaian terhadap akar masalah. Hukuman pidana bersifat reaktif. Sementara yang dibutuhkan Flores Timur adalah aksi proaktif dan preventif dari semua lini pemerintahan,” tegas Jefri.
Ia pun mempertanyakan peran konkret berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam pencegahan kekerasan pada anak. “Apa yang telah dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan Flores Timur untuk mencegah anak-anak mereka menjadi korban?”
Jefrianus Pati Bean menyerukan seluruh pemangku kepentingan untuk turun dari "menara gading" dan mengambil peran nyata. Kasus di Adonara, menurutnya, harus menjadi alarm darurat untuk membangun sistem perlindungan yang efektif. Berikut adalah peran yang harus dijalankan masing-masing instansi:
1. DP3A Flores Timur: Harus memimpin dalam menyusun program sosialisasi dan edukasi yang masif, bukan hanya di kota-kota kecamatan, tetapi hingga ke pelosok desa dan dusun dengan berkolaborasi bersama tokoh adat dan agama.
2. Dinas Pendidikan Flores Timur: Wajib memastikan sekolah menjadi zona aman dengan memasukkan kurikulum khusus tentang pendidikan seksualitas yang sesuai usia dan memberikan pelatihan bagi guru untuk mengenali tanda-tanda kekerasan pada anak.
3. Dinas Kesehatan Flores Timur: Harus memastikan puskesmas dan rumah sakit memiliki protokol standar dan tenaga terlatih untuk menangani korban kekerasan seksual (Pusat Pelayanan Terpadu/PPT) dengan pendekatan trauma-informed care.
4. Dinas Sosial Flores Timur: Bertanggung jawab dalam pendampingan dan pemulihan sosial korban, termasuk pemberian bantuan dan akses kepada pemulihan trauma jangka panjang.
Jefri mendesak agar konsep “Perlindungan Anak” tidak lagi hanya menjadi jargon dalam plang nama dinas atau spanduk kampanye.
“Di Flores Timur, konsep ini harus diterjemahkan menjadi anggaran, program, dan tindakan nyata yang terukur. Masyarakat Adonara dan Flores Timur secara keseluruhan sudah lelah dengan janji. Mereka butuh aksi konkret yang dapat dirasakan langsung oleh anak-anak di tingkat tapak,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kasus memilukan ini adalah sebuah kegagalan kolektif. “Sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Flores Timur harus duduk bersama, merumuskan strategi yang konkret, dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk membangun benteng perlindungan anak yang kokoh.”
Jefrianus menutup dengan pesan yang tegas, “Hukuman bagi pelaku adalah keadilan untuk satu korban, tetapi membangun sistem yang mencegah munculnya korban berikutnya adalah keadilan untuk semua generasi penerus Flores Timur. Jangan sampai ada lagi tangisan anak yang tertahan karena kelalaian kita bersama.”