Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Music

{getBlock} $label={Music} $type={block1}

Indeks Berita

Membuat Kesimpulan Tanpa Mengetahui Fakta Perkara Eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi: Itu Trial By The Press

Jumat, 19 September 2025 | September 19, 2025 WIB Last Updated 2025-09-19T04:03:15Z


Foto/ Penasehat Hukum terdakwa eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi dan tim

Kupang - Pihak-pihak yang membuat pernyataan dengan membuat kesimpulan tanpa mengetahui fakta persidangan, dan melakukan intervensi pendapat ahli yang didengar keterangan resminya dalam persidangan, itu trial by the press, penghakiman terhadap terdakwa oleh media diluar hukum dengan menciptakan opini. 


“Menyimpulkan tapi tidak mengetahui fakta apa yang terjadi dalam persidangan, itu trial by the press”, jelas Penasehat Hukum terdakwa eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi Jumat 19 September 2025 di Kupang.


Akhmad Bumi mengatakan kasus eks Kapolres Ngada terkait kekerasan seksual ini hanya salah satu kasus yang muncul dipermukaan, masih begitu banyak kasus yang tidak muncul dipermukaan. 


“Hasil penelitian disalah satu kabupaten di NTT, tahun 2023 tembus lebih dari 500 anak yang lakukan hubungan seksual, tahun 2025 sebanyak 193 anak. Rata-rata mereka diusia produktif, 11 sampai 18 tahun. Tarif terkecil Rp.20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) sekali pakai”, jelasnya. 


”500 lebih anak itu rata-rata tidak melalui mucikari, tapi dari mereka langsung. Melalui mucikari atau pihak lain, itu eksploitasi. Bagaimana kalau penawaran itu datang dari anak langsung?”, tanya Akhmad Bumi. 


Lanjutnya, kenapa kita tidak berfikir keras soal aspek preventif, penguatan pencegahan sebelum terjadi adanya korban. 


Kenapa kita rame-rame teriak kalau sudah ada korban, dan itupun hanya pada kasus yang muncul dipermukaan, yang tidak muncul belum, ini gunung es. 


Pertanyaan sederhana, kalau anak itu sendiri yang lakukan tanpa melalui mucikari, disebut apa itu?, tanya Akhmad Bumi. 


UU Perlindungan Anak hanya mengatur anak sebagai korban, tidak mengatur anak sebagai pelaku. Padahal kita ada pengadilan anak, pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang khusus menangani perkara anak yang bersentuhan dengan hukum, untuk pembinaan. Ada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), jelasnya.


Meminjam pertanyaan anggota Majelis Hakim dalam kasus eks Kapolres Ngada dalam sidang sebut Akhmad Bumi, kenapa harus jual diri, kenapa tidak bantu mama jual es saja?, Ini ironis.


Kekerasan seksual terhadap anak ini sudah menjadi masalah global dan itu terus meningkat.


”Jangan melihat kasus eks Kapolres Ngada ini secara emosional, tapi perlu melihat kasus ini secara komprehensif, apa yang kita sumbangkan untuk selesaikan masalah anak ini?. Ini problem anak-anak Indonesia saat ini”, ungkapnya. 


“Anak itu anugerah yang tak ternilai harganya dalam hidup ini. Tapi kenapa kita membiarkan anak kita keluar sore jam 5 hingga dini hari tanpa ada rasa gelisah dari kita sebagai orang tua? 

Kenapa tidak penuhi kebutuhan anak misalnya beli pakayan dan hp (android), kenapa harus biarkan anak mencari uang sendiri? Dan hal ini menjadi tanggungjawab siapa? Orang tua, pendidik, guru, dosen, tokoh agama atau negara?”, jelasnya.


Tambahnya, kasus eks Kapolres Ngada ini dilakukan melalui mekanisme tawar-menawar melalui aplikasi MiChat, kemudian terjadi kesepakatan sukarela (mutual consent), tidak ada yang dipaksakan. Ada relasi pasar disitu. 


Ada yang menawarkan jasa dan ada yang menggunakan. Kedua belah pihak mendapatkan keuntungan sesuai motif masing-masing. Saya tidak sedang membahas fakta kasus ini, karena kasus ini masih dalam proses persidangan, jelasnya.


Akhmad Bumi menjelaskan sebagai kuasa hukum tentu berbeda pandangan dengan Penuntut Umum, filosofi dan simbolnya ada pada dua piring wadah timbangan pada badge (lambang) di lengan Penuntut Umum. Sebagai tempat menghasilkan perbedaan wawasan dan sudut pandang dalam menggali dan mencari kebenaran materil dalam persidangan.


Termasuk terdakwa menggunakan hak menghadirkan ahli dalam sidang. Itu hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP. Terjadi perbedaan itu sah dan wajar antara PH dan JPU.  


Agar kedua piring wadah timbangan yang berlainan posisi itu tidak berat sebelah, maka Majelis Hakim mendapatkan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi juru terang, menjadi tonggak tengah dari, dan, untuk menyeimbangkan kedua timbangan keadilan itu sesuai UU Kehakiman.


Perbedaan dalam melihat kasus ini, biarkan Majelis Hakim yang menimbang dan memutuskan, tentu berdasar fakta. Kenapa yang lain membuat kesimpulan dan memberi vonis pada terdakwa tanpa mengetahui fakta apa yang terjadi dalam persidangan?, tutup Akhmad Bumi. (*)